BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ruang lingkup mata pelajaran
Sains
meliputi dua aspek,
yaitu kerja ilmiah
dan
pemahaman konsep
dan penerapannya. Kerja ilmiah mencakup
penyelidikan atau penelitian, berkomunikasi ilmiah, pengembangan kreativitas dan pemecahan
masalah, sikap dan nilai ilmiah.
Sedangkan pemahaman konsep dan
penerapannya
mencakup makhluk
hidup
dan kehidupan, yaitu
manusia, hewan, tumbuhan
dan
interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan. Benda atau materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi cair, padat, dan
gas.
Energi
dan perubahannya meliputi gaya, bunyi, panas,
magnet,
listrik, cahaya dan pesawat sederhana.
Bumi dan alam semesta meliputi tanah, bumi, tata surya, dan benda – benda langit lainnya.
Serta sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat yang merupakan penerapan konsep sains dan saling
keterkaitannya
dengan lingkungan, teknologi
dan masyarakat melalui pembuatan suatu karya
teknologi sederhana termasuk
merancang dan membuat.
Kelimanya merupakan dasar bidang fisika, kimia, dan biologi. Meskipun area
tersebut merupakan materi pembelajaran IPA, belajar tidak hanya melibatkan masalah pengetahuan. Pembelajaran IPA terutama
lebih menekankan aspek
proses bagaimana siswa
belajar dan
efek dari
proses
belajar tersebut
bagi
perkembangan siswa itu sendiri. Pembelajaran IPA melibatkan keaktifan siswa,
baik aktivitas
fisik
maupun
aktivitas mental, dan berfokus pada
siswa,
yang
berdasar pada pengalaman keseharian siswa dan minat siswa. Pembelajaran
IPA
di SD mempunyai tiga tujuan utama mengembangkan keterampilan ilmiah, memahami
konsep IPA, dan mengembangkan sikap yang berdasar pada nilai- nilai
yang terkandung dalam pembelajarannya.
Belajar merupakan proses aktif (Rodriguez, 2001). Anak belajar dengan cara
mengonstruksi hal yang dipelajarinya berdasarkan pengetahuan yang diketahuinya, bukan menerima suatu hal dengan pasif. Pengertian ini berakar dari
perspektif konstruktivisma. Konstruktivisma sendiri
banyak dijumpai
di berbagai bidang antara lain
psikologi, filosofi, sosiologi, dan pendidikan, serta
menimbulkan implikasi yang berarti dalam pembelajaran IPA.
Hal ini menimbulkan pertanyaan bahwa bagaimana cara membuat siswa belajar
aktif ? Dan pertanyaan ini sangat menentukan cara mengajar dan pembelajaran IPA di SD, bahwa
pembelajaran IPA tidak hanya penentuan dan penguasaan
materi,
tetapi aspek
apa dari
IPA yang perlu diajarkan
dan
dengan cara bagaimana, supaya siswa dapat memahami konsep yang dipelajari dengan baik dan terampil untuk mengaplikasikan secara logis konsep
tersebut pada situasi lain
yang relevan dengan pengalaman kesehariannya.
Pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa pada IPA juga penting untuk
belajar IPA yang efektif, terutama untuk mengembangkan
rasa percaya diri dalam berpendapat,
beralasan,
dan
menentukan
cara
untuk mencari tahu
jawabannya. Apabila demikian halnya,
selama enam tahun siswa akan mempunyai pengalaman belajar yang bermakna sehingga pada tahap ini siswa mampu mengembangkan sikap dan nilai-nilai dari pembelajaran
IPA. Siswa yang
berminat pada IPA
akan
merasakan
bahwa belajar IPA itu menyenangkan sehingga akan antusias mengenai bagaimana
pelajaran IPA berimbas pada pengalaman kesehariannya
(Murphy and Beggs,
2003). Bagaimana
memantik
minat dan motivasi
pada
siswa yang kurang menyukai pelajaran IPA ?
Belajar
efektif
dengan melakukan ”aktivitas” (learning by
doing). Meskipun
demikian, esensi ”aktivitas” dalam pembelajaran IPA adalah ”aktivitas belajar”
(Fleer, 2007).
Dalam prakteknya
tidak jarang
bahwa
”aktivitas” (hands-on science) itu sendiri tidak disertai
dengan belajar (Bodrova and Leong, 2007). Dalam artikelnya, Osborne (1997) bertanya secara provokatif: ”Is doing science
the best way to learn
science?”
Oleh karena
itu,
guru
perlu
memberikan kesempatan bagi siswa
untuk
menginterpretasi
konsep
(minds-on
approach)
(Keogh and Naylor, 1996).
Metoda mengajar tradisional dengan pendekatan ekspositori sebaiknya mulai dikurangi.
Guru
yang hanya men-transmisi pengetahuan kurang menstimulasi siswa untuk belajar secara
aktif. Hal ini bukan berarti bahwa metoda ceramah tidak
baik,
atau
siswa tidak mengalami proses belajar. Variasi
proses
pembelajaran
lebih
memicu
siswa untuk
aktif
belajar (Rodriguez, 2001). Menempatkan siswa
pada pusat
poses pembelajaran berarti
memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengonstruksi hal yang dipelajarinya berdasarkan pengetahuan
yang diketahuinya
dan menginterpretasi konsep, bukan
memberikan informasi
melalui buku teks (Dickinson, 1997).
Hal ini sama sekali tidak mudah karena beberapa faktor menyebabkan siswa SD
tidak dapat mengartikulasi
dengan
baik apa
yang
diketahuinya. Meskipun
demikian, berangkat dari apa yang siswa ketahui bermanfaat untuk menentukan
rencana pembelajaran yang efektif (Harlen, 1996).
Pendekatan konstruktivisma
dalam
pembelajaran IPA
tidak mudah diimplementasikan.
Persepsi mengenai peran guru di
kelas, peran sekolah dalam pendidikan anak, persepsi dan harapan orang tua terhadap guru dan sekolah masih sangat kontradiktif dengan perspektif konstruktivisma dan sangat sukar untuk mengubah paradigma yang berpandangan bahwa guru adalah satu-
satunya sumber
belajar.
Hal ini kurang menstimulasi
siswa untuk belajar secara aktif (Dickinson, 1997).
Komitmen
untuk
memperbaiki
proses pembelajaran
IPA merupakan langkah
penting dalam mewujudkan proses pembelajaran yang efektif (Tobin,
Briscoe, and Holman, 1990).
Masalah tersebut,
ditambah sistem ujian akhir nasional
yang
sangat menekankan pada
pemahaman konsep,
merupakan
suatu
dilemma. Sistem tersebut mengakibatkan IPA diajarkan hanya sebagai sekumpulan fakta, konsep, atau teori (body of knowledge), terutama pada kelas 5 dan 6. Guru merasa perlu mempersiapkan siswa
menghadapi ujian akhir nasional
dengan cara
drilling
supaya mereka dapat tepat menjawab
soal. Dedikasi guru untuk memberikan pengalaman belajar
yang
bermakna
bagi siswa pada bidang IPA
dan
memberikan bekal nilai-nilai ilmiah yang terkandung dalam pembelajaran IPA
menurun tajam
bersamaan dengan tahap persiapan
menghadapi ujian.
Di samping itu, jumlah siswa
dalam
kelas merupakan
kendala utama pembelajaran IPA. Jumlah siswa di atas 20 anak dalam satu kelas menyebabkan guru kesulitan untuk mengatasi
masalah perbedaan
kemampuan
individu.
Contoh
kendala lain
adalah ketersediaan waktu,
ketidakcocokan antara kurikulum, pembelajaran, dan
evaluasi
keterbatasan
sumber
belajar,
pola
hubungan antara guru dan siswa,
dan lain-lain.
Oleh karena
itu, hendaknya dilakukan perubahan paradigma atau reorientasi terhadap proses pembelajaran. Perubahan paradigma atau reorientasi terhadap proses pembelajaran yang dimaksud adalah perubahan dari pembelajaran yang mekanistik ke pembelajaran yang berorientasi pada siswa aktif, berdasarkan
penalaran, masalah dan pemecahan masalah
contextual
yang sifatnya terbuka, berpusat pada siswa, mendorong
siswa untuk menemukan kembali, serta membangun
pengetahuan
dan pengalaman siswa secara mandiri.
(Soejadi &
Sutarto hadi, 2004).
Kaitannya dengan pembelajaran di kelas, ada empat pilar yang digunakan
sebagai
pedoman,
yaitu belajar
untuk
mengetahui
(learning
to
know), belajar untuk melakukan (learning to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to
be), dan belajar untuk kebersamaan (learning to live together) (Budimansyah,
2002).
Oleh karena
itu,
proses
pembelajaran
tidak
seharusnya
memposisikan
peserta didik sebagai
pendengar ceramah seperti mengisi botol kosong dengan ilmu pengetahuan.
Pembelajaran
yang
berorientasi
pada masalah-masalah akademis
yang
sifatnya tertutup (close
problem)
(Shimada, 1997) berdampak pada proses pembelajaran
menjadi paket-paket yang menekankan langkah-langkah
secara
explisit step by step.
Karena sifat dari masalah ini explisit deterministic,
dimana permasalahan dan solusi sangat klausal dan mudah ditebak, maka penyajian ini
hanya memberikan keterampilan
algoritme
rutin pada
siswa,
sehingga kurang mengembangkan kompetensi penalaran siswa terutama yang berhubungan dengan
penemuan dan keterampilan pemecahan masalah.
Hal ini
sejalan dengan pernyataan Kibble (1999) yang mengatakan bahwa penyajian dan latihan-latihan yang bersifat tertutup tidak membantu siswa untuk berpikir kreatif, mengembangkan
keterampilan memecahkan
masalah, dan mengembangkan kompetensi penalaran, sehingga hasil belajar mereka kurang memuaskan.
Salah
satu teknik yang bisa digunakan untuk dapat membuat pembelajaran IPA menjadi
menyenangkan adalah menggunakan teknik kuis. Yang mana dapat dilakukan secara
kelompok kecil maupun secara klasikal. Diharapkan dengan menggunakan teknik
kuis selama proses pembelajaran siswa menjadi lebih aktif dan proses
pembelajaran pun menjadi menyenangkan, sehingga paradigma mengenai pembelajaran
IPA atau Sains yang membosankan, kaku dan menakutkan dapat berubah. Dan ini
juga dapat berdampak pada nilai – nilai siswa yang mana bila pembelajaran
menyenangkan dan siswa ikut aktif didalamnya maka nilai – nilai siswa pun dapat
meningkat dan prestasi siswa menjadi lebih baik dari sebelumnya.
B.
Rumusan Masalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar