Sabtu, 15 Juni 2013

contoh latar belakang Proposal PTK



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Ruang  lingkup  mata  pelajaran  Sains  meliputi  dua  aspek, yaitu kerja  ilmiah  dan pemahaman konsep dan               penerapannya. Kerja ilmiah mencakup penyelidikan atau penelitian, berkomunikasi ilmiah, pengembangan kreativitas dan pemecahan masalah, sikap dan nilai ilmiah. Sedangkan pemahaman konsep dan  penerapannya mencakup makhluk hidup dan kehidupan,  yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan. Benda atau materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi cair, padat, dan gas. Energi dan perubahannya meliputi gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana. Bumi dan alam semesta meliputi tanah, bumi, tata surya, dan benda benda langit lainnya. Serta sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat yang merupakan penerapan konsep sains dan saling  keterkaitannya  dengan  lingkungan,  teknologi  dan  masyarakat  melalui pembuatan suatu  karya teknologi  sederhana       termasuk merancang dan membuat.

Kelimanya merupakan dasar bidang fisika, kimia, dan biologi. Meskipun area tersebut  merupakan materi pembelajaran IPA, belajar tidak hanya melibatkan masalah  pengetahuan.  Pembelajaran IPA terutama  lebih  menekankan  aspek proses  bagaimana  siswa  belajar  dan  efek  dari  proses  belajar  tersebut  bagi perkembangan siswa itu sendiri. Pembelajaran IPA melibatkan keaktifan siswa, baik  aktivitas  fisik  maupun  aktivitas  mental,  dan  berfokus  pada  siswa,  yang berdasar pada pengalaman keseharian siswa dan minat siswa. Pembelajaran IPA di SD mempunyai tiga tujuan utama mengembangkan keterampilan ilmiah, memahami konsep IPA, dan mengembangkan sikap yang berdasar pada nilai- nilai yang terkandung dalam pembelajarannya.
Belajar merupakan proses aktif (Rodriguez, 2001). Anak belajar dengan cara mengonstruksi hal yang dipelajarinya berdasarkan      pengetahuan yang diketahuinya, bukan menerima suatu hal dengan pasif. Pengertian ini berakar dari  perspektif   konstruktivisma.  Konstruktivisma  sendiri  banyak  dijumpai  di berbagai bidang antara lain  psikologi, filosofi, sosiologi, dan pendidikan, serta menimbulkan implikasi yang berarti dalam pembelajaran IPA.
Hal ini menimbulkan pertanyaan bahwa bagaimana cara membuat siswa belajar aktif ? Dan pertanyaan ini sangat menentukan cara mengajar dan pembelajaran IPA di SD, bahwa  pembelajaran IPA tidak hanya penentuan dan penguasaan materi,  tetapi  aspek  apa  dari  IPA  yang  perlu  diajarkan  dan  dengan  cara bagaimana, supaya siswa dapat memahami konsep yang dipelajari dengan baik dan terampil untuk mengaplikasikan secara logis konsep  tersebut pada situasi lain yang relevan dengan pengalaman kesehariannya.
Pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa pada IPA juga penting untuk belajar IPA yang efektif, terutama untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam berpendapat, beralasan, dan menentukan cara untuk mencari tahu  jawabannya. Apabila demikian halnya, selama enam tahun siswa akan mempunyai pengalaman belajar yang bermakna sehingga pada tahap ini siswa mampu mengembangkan sikap dan nilai-nilai dari pembelajaran IPA. Siswa yang berminat  pada  IPA  akan  merasakan  bahwa belajar IPA itu menyenangkan sehingga akan antusias mengenai bagaimana pelajaran IPA berimbas pada pengalaman kesehariannya  (Murphy and Beggs, 2003). Bagaimana  memantik  minat  dan  motivasi  pada  siswa  yang  kurang menyukai pelajaran IPA ?
Belajar  efektif  dengan  melakukan  ”aktivitas”  (learning  by  doing).  Meskipun demikian,  esensi ”aktivitas” dalam pembelajaran IPA adalah aktivitas belajar” (Fleer,  2007).  Dalam   prakteknya  tidak  jarang  bahwa  ”aktivitas”  (hands-on science) itu sendiri tidak disertai  dengan belajar (Bodrova and Leong, 2007). Dalam artikelnya, Osborne (1997) bertanya secara provokatif: ”Is doing science the  best  way  to  learn  science? Oleh  karena  itu,  guru  perlu  memberikan kesempatan  bagi  siswa  untuk  menginterpretasi  konsep  (minds-on  approach) (Keogh and Naylor, 1996).
Metoda mengajar tradisional dengan pendekatan ekspositori sebaiknya mulai dikurangi. Guru yang hanya men-transmisi pengetahuan kurang menstimulasi siswa untuk belajar secara aktif. Hal ini bukan berarti bahwa metoda ceramah tidak baik, atau siswa tidak mengalami proses      belajar. Variasi proses pembelajaran  lebih  memicu   siswa   untuk  aktif  belajar  (Rodriguez, 2001). Menempatkan  siswa  pada  pusat  poses   pembelajaran  berarti  memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengonstruksi hal yang dipelajarinya berdasarkan pengetahuan yang         diketahuinya dan menginterpretasi konsep, bukan memberikan informasi melalui buku teks (Dickinson, 1997).
Hal ini sama sekali tidak mudah karena beberapa faktor menyebabkan siswa SD tidak  dapat   mengartikulasi  dengan  baik  apa  yang  diketahuinya.  Meskipun demikian, berangkat dari apa yang siswa ketahui bermanfaat untuk menentukan rencana pembelajaran yang efektif (Harlen, 1996).
Pendekatan        konstruktivisma dalam pembelajaran  IPA tidak mudah diimplementasikan. Persepsi  mengenai  peran  guru  di  kelas,  peran  sekolah dalam  pendidikan anak, persepsi dan harapan orang tua terhadap guru dan sekolah masih sangat kontradiktif dengan perspektif konstruktivisma dan sangat sukar untuk mengubah paradigma yang berpandangan bahwa guru adalah satu- satunya sumber belajar.
Keterbatasan  guru  dalam  bidang  pengetahuan  ilmiah  dan  perasaan  kurang percaya  diri   untuk  mengajar  IPA  merupakan  kendala  yang  lain.  Hal  ini dikarenakan  kebanyakan   guru   SD  merupakan  guru  kelas  yang  mengajar beberapa  mata  pelajaran  (high  workload).  Persepsi  guru  terhadap  IPA  juga sangat  menentukan pembelajaran  IPA.  Guru  yang memandang IPA  sebagai sekumpulan fakta, konsep, atau teori belaka menyebabkan  pembelajaran IPA yang  kurang  bermakna.  Walaupun  guru  memegang  kuat  komitmen   untuk mendidik siswa dan memandang bahwa siswa perlu belajar IPA, guru menjadi kurang antusias dan tidak yakin akan kemampuan mereka dalam pembelajaran IPA.
Hal ini kurang  menstimulasi siswa untuk belajar secara aktif (Dickinson, 1997).  Komitmen  untuk  memperbaiki  proses  pembelajaran  IPA  merupakan langkah  penting  dalam mewujudkan proses pembelajaran yang efektif (Tobin, Briscoe, and Holman, 1990). Masalah            tersebut, ditambah sistem ujian  akhir  nasional yang sangat menekankan pada  pemahaman konsep, merupakan suatu dilemma. Sistem tersebut mengakibatkan IPA diajarkan hanya sebagai sekumpulan fakta, konsep, atau teori (body of knowledge), terutama pada kelas 5 dan 6. Guru merasa perlu mempersiapkan  siswa  menghadapi  ujian  akhir  nasional  dengan  cara  drilling supaya mereka dapat tepat menjawab  soal. Dedikasi guru untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa pada bidang IPA dan memberikan bekal nilai-nilai ilmiah yang  terkandung  dalam pembelajaran IPA menurun tajam bersamaan dengan tahap persiapan menghadapi ujian.
Di samping        itu, jumlah siswa dalam kelas  merupakan kendala utama pembelajaran IPA. Jumlah siswa di atas 20 anak dalam satu kelas menyebabkan guru kesulitan untuk  mengatasi  masalah  perbedaan  kemampuan  individu. Contoh kendala lain adalah ketersediaan waktu, ketidakcocokan            antara kurikulum, pembelajaran, dan evaluasi  keterbatasan  sumber  belajar, pola hubungan antara guru dan siswa, dan lain-lain.
Oleh   karena   itu,   hendaknya   dilakukan   perubahan   paradigma   atau reorientasi terhadap proses pembelajaran. Perubahan paradigma atau reorientasi terhadap proses pembelajaran yang dimaksud adalah perubahan dari pembelajaran yang mekanistik ke pembelajaran yang berorientasi pada siswa aktif, berdasarkan penalaran,  masalah  dan  pemecahan  masalah  contextual  yang sifatnya  terbuka, berpusat   pada   siswa,   mendorong  siswa   untuk   menemukan   kembali,   serta membangun  pengetahuan  dan  pengalaman  siswa  secara  mandiri.  (Soejadi  & Sutarto hadi, 2004).
Kaitannya dengan pembelajaran di kelas, ada empat pilar yang digunakan sebagai  pedoman,  yaitu  belajar  untuk  mengetahui  (learning  to  know),  belajar untuk melakukan (learning to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar  untuk  kebersamaan (learning to live together) (Budimansyah,
2002).  Oleh  karena  itu,  proses  pembelajaran  tidak  seharusnya  memposisikan peserta didik sebagai pendengar ceramah seperti mengisi botol kosong dengan ilmu pengetahuan.
Pembelajaran  yang  berorientasi  pada  masalah-masalah  akademis  yang sifatnya   tertutup  (close  problem)  (Shimada,  1997)  berdampak  pada  proses pembelajaran  menjadi  paket-paket  yang  menekankan  langkah-langkah  secara explisit step by step.  
Karena sifat dari masalah ini explisit deterministic, dimana permasalahan dan solusi  sangat klausal dan mudah ditebak, maka penyajian ini hanya  memberikan  keterampilan  algoritme  rutin  pada  siswa,  sehingga  kurang mengembangkan kompetensi penalaran siswa terutama yang berhubungan dengan penemuan   dan   keterampilan   pemecahan   masalah.   Hal   ini   sejalan   dengan pernyataan Kibble (1999) yang mengatakan bahwa  penyajian dan latihan-latihan yang                    bersifat  tertutup  tidak  membantu  siswa untuk berpikir kreatif, mengembangkan keterampilan   memecahkan masalah, dan mengembangkan kompetensi penalaran, sehingga hasil belajar mereka kurang memuaskan.
Salah satu teknik yang bisa digunakan untuk dapat membuat pembelajaran IPA menjadi menyenangkan adalah menggunakan teknik kuis. Yang mana dapat dilakukan secara kelompok kecil maupun secara klasikal. Diharapkan dengan menggunakan teknik kuis selama proses pembelajaran siswa menjadi lebih aktif dan proses pembelajaran pun menjadi menyenangkan, sehingga paradigma mengenai pembelajaran IPA atau Sains yang membosankan, kaku dan menakutkan dapat berubah. Dan ini juga dapat berdampak pada nilai – nilai siswa yang mana bila pembelajaran menyenangkan dan siswa ikut aktif didalamnya maka nilai – nilai siswa pun dapat meningkat dan prestasi siswa menjadi lebih baik dari sebelumnya.

B.    Rumusan Masalah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar